Kapela Dipolitisasi?

Note: Buah pikiran yang gagal di post tanggal 1 April.

1 April,.April Mop, hari yang dianggap wajar untuk tipu menipu (untung hari ini tidak kena tipu malahan bisa menipu sedikit 🙂 ) . 1 April juga menandai awal bulan baru dan yang pasti tinggal 9 hari menuju perhelatan akbar pesta demokrasi di Indonesia – Pemilu. Seru?? So pasti seru,.karena tinggal hitung mundur dan angka ‘orang gila’ akan bertambah, paling sedikit dua sampai tiga orang lha:-) .

Di hari yang semakin singkat ini kampanye-kampanye dan promosi diri semakin gencar. Kampanye adalah hal wajar untuk mencari simpatisan dan dukungan untuk menjadi wakil rakyat. Tetapi yang menjadi soal kalau kampanye diikuti ‘tebar pesona’. Yang sebenarnya bukan berapa banyak amplop yang akan dikeluarkan untuk membiayai kampanye tetapi seberapa besar seorang caleg kompatible dalam menyalurkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Apakah visi misinya akan pas pada rakyat yang ia wakili?

Beberapa kejadian (satu kejadian yang paling nyata di desa sendiri) promosi diri caleg sangat menyayat hati nurani. Ceritanya di desa lagi heboh soal bantuan untuk pembangunan Kapela dari seorang Caleg. Secara pribadi saya tidak bisa mengatakan ‘setuju’ ataupun bilang ‘tidak setuju’. Untuk itu saya mencoba netral melihatnya dan membahasakannya di sini.

Alasan tidak setuju karena moment promosi diri yang model ini tidak pas. Singkat saja, kenapa niat membantu masyarakat tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang? Sudah dekat Pemilu baru kelihatan baiknya. Hehe 🙂 Setuju, kalau melihat situasi masyarakat saat ini. Sejarah panjang pembangunan Kapela ini juga menjadi alasan kenapa saya setuju dengan masyarakat desa yang setuju-setuju saja menerima bantuan ini.

Di tengah situasi yang tak menentu, masyarakat desa seakan menemukan ‘malaikat penyelamat’ yang datang di waktu yang tepat. Singkatnya bukan visi misi yang dilihat lagi oleh masyarakat tetapi niat tulus untuk membantu yang kemudian dianggap masyarakat sebagai orang yang baik dan tepat. So, salah???

Bukan hanya itu, masyarakat ini bukan tanpa alasan jikalau menoleh ke belakang dan melihat sejarah panjang pembangunan Kapela. Menurut cerita bapak yang sekarang menjabat sebagai Ketua Lingkungan, pembangunan Kapela sudah dimulai sejak saya belum lahir. Artinya rencana dan fanderen (sebutan orang desa untuk fondasi bangunan) sudah ada sejak tahun 1970an hingga 1980an. Pelopor pembangunan Kapela ini adalah Bapak Thobias Laka (almarhum, veteran dan ketua lingkungan saat itu). Saat saya sudah lahir dan duduk di banguku SD – tahun 90an, fanderen ini pun masih berdiri kokoh tetapi sudah ditumbuhi lumut.

Tahun-tahun berlalu, ada perubahan rencana. Fanderen untuk pembangunan Kapela dirubah dan dibuat lebih besar. Lubang untuk fanderen diperlebar dan diperdalam sekitar 1 X 1 m. Artinya pembangunan Kapela ini diperlebar dan diperbesar layak sebuah Gereja besar. Saya ingat saat masih SD, lubang untuk fanderen ini kami manfaatkan sebagai tempat persembunyian.

Seiring dengan pergantian Ketua Lingkungan, ada sedikit kemajuan. Lubang kosong ini akhirnya bisa diisi dengan fanderen. Tetapi lagi-lagi pembangunan Kapela ini terbengkalai. Fanderen yang sudah dibuat berdiri kokoh saja dengan rangka besi-besi yang siap untuk dicor. Lama ditinggal dan tak terurus dalam hitungan tahun, bahkan besi-besi yang siap cor hilang satu per satu tanpa bekas. Ketua lingkungan satu demi satu naik dan hasilnya sama. Pembangunan Kapela terbengkalai. Bapak Josef Sanam yang akhirnya naik sebagai Ketua Lingkungan pada tahun 2008 mencoba untuk meneruskan estafet pembangunan Kapela ini.

Sang Ketua Lingkungan dengan gigih memperjuangkan pembangunan Kapela ini. Berbagai upaya sudah ia lakukan, mulai dari menghimpun masyarakat, memotivasi mereka untuk kembali semangat sampai membuat mereka sadar untuk memberi sumbangan dalam rangka membangun Kapela. Hasilnya ada kemajuan pesat. Tiang-tiang Kapela mulai berdiri kembali.
Di tengah upaya pembangunan Kapela, tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat kadang sampai pada titik jenuh. Berbagai persoalan muncul, tantangan demi tantangan datang silih berganti. Pembangunan sempat terhenti sampai setahun. Tetapi prinsip teguh pada pendirian ini yang terus memompa semangat sang Ketua Lingkungan untuk melakukan segala daya.

Upaya lain mulai dilakukan yaitu pembuatan proposal untuk diajukan ke pemerintah daerah (Pemda). Syukur bahwa Pemda segera merespon melalui Kasisos. Masyarakat mendapat angin segar karena dibantu dengan sejumlah dana dan dana ini bisa dimanfaatkan untuk membuat rangka atap Kapela.

‘Putus nyambung putus nyambung’ seperti judul lagunya BBB milik Rafi Ahmad dkk. Pembangunan Kapela ini demikian. Putus, sambung lagi, putus dan sambung lagi. Kembali rangka baja atap ditinggal sampai setahun. Masyarakat seolah hilang harapan. Sang ketua lingkungan juga kehilangan semangat dan didera oleh tugas dinas. Masyarakat lagi-lagi jenuh dan enggan meneruskan pembangunan Kapela. Hal ini jelas bahwa semangat masyarakat sungguh redup.

Di tengah situasi ini, masyarakat seolah menemukan penyelamat. Muncul secercah harapan untuk meneruskan pembangunan Kapela terutama meneruskan pembuatan atap. Harapan ini muncul dari mana? Ya datang dari diri caleg ini. Bahwa ketika masyarakat kecil ini sudah tak berdaya didera tuntutan moral dan tuntutan keselamatan akhirat, maka bantuan dirasa sebagai sesuatu yang pas. Mereka tidak melihat dari siapa datangnya tetapi niat tulus untuk Tuhan yang kemudian dianggap wajar.

Situasinya demikian. Bahwa sejarah panjang telah mendera masyarakat. Saat masyarakat kecil ini yang sudah terkuras habis baik tenaga maupun kemampuan finansialnya, mereka akhirnya tak punya pilihan lain selain menerima segala bantuan dengan tangan terbuka. Kalau ada niat yang baik dari orang yang membantu kenapa tidak? Mungkin masyarakat berpikiran seperti ini. Lantas masyarakat ini akan langsung dicap bodoh dan murahan?

Politisasi? May be yes may be no. Mari kita renungkan saja dalam hati.

Proses Pembangunan Kapela

Proses Pembangunan Kapela